10/08/2013

Rina yang malang

Rina, anak belia yg kira-kira berumur 7 tahun. Badannya kurus dekil dan pakaian nampak usang. Memang Rina masih anak-anak, namun tekad dan usahanya banyak mengalahkan orang-orang yang umurnya jauh diatasnya. Tatkala iya berumur tiga tahun, ayahnya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa dan kini ibunya tengah sakit-sakitan, saudaranya pun hingga kini tak terketahui dimana rimbanya, namun iya tak pernah mengeluh dengan keadaanya yang seperti itu. Memang menggelikan yang katanya Negara kita yang katanya kaya tapi masih ada yang seperti Rina. 
            Pagi-pagi buta Rina telah bangun untuk mempersiapkan sarapan untuk ibunya yang terbaring lemah, membenahi rumah dan tak lupa memberi makan ayam-ayam tetangga yang di ternakkannya sebagai penambah modal sehari-hari, kemudian mempersiapkan diri bersekolah. 
"Ibu, Rina berangkat sekolah yah bu, ibu baik-baik dirumah", ucap kata dari bibir Rina.
Lekas Rina berangkat kesekolah, sampai di sekolah, seperti biasanyan, Rina terlambat lagi, tp untunglah guru-guru di sekolahnya mengerti dengan keadaannya. Singkat cerita, Rina pulang sekolah, ia langsung menghampiri ibunya yang terbaring."Ibu", panggil Rina sambli menggoyang-goyangkan tangan ibunya, "ibu sudah makan?" . Namun tak terdengar suara dari ibu, Rina mulai panik dan resah, ia berlari menuju rumah kakek Ikar, kakek Ikar adalah tetangga Rina yang sudah dianggap seperti kakeknya sendiri. 

"Kek, kakek, teriak Rina berlari masuk kerumah kakek Ikar yang pintunya tengah menganga lebar karena sudah lapuk. 
            ia pun mendapatkan kakek Ikar, "Kenapa kamu nak?" tanya si kakek, "ibu, iiiibb, ibuuu saya kek" sambil terbata-bata dan matanya berkaca-kaca. "Ada apa dengan ibumu nak?" kembali si kakek berpungkas. Rina tak mampu berkata-kata, ia hanya menarik tangan si kakek dan berlari menuju ke rumahnya. 
            Sesampai dikamar ibu, si kakek lansung memegang tangan ibu Rina, betapa terkejut sii kakek,"INNALILLAHI WAINNA ILAIHI RAJIUN" ucap kakek. tangis Rina pun pecah, matnya yang tadi berkaca-kaca kini telah basah air mata.. "bersabar ndo', ini Sudah takdir Ilahi, kamu harus mengikhlaskan, ibumu kini tengah menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa" ucap si kakek.
            Suasana hening di gubuk kecil tiba-tiba menjadi gaduh, rina menangis, memeluk ibunya yang kini hanya tinggal jasad. Si kakek tak mampu menahan sedih meilihat keadaan Rina.
            Tetangga mulai berdatangan, Rina tak henti-hentinya menangis jenazah ibunya yang kaku membisu. Semua tetangga merasa iba dan kasihan melihat keadaannya.
Seminggu pun berlalu, Rina di asuh si kakek tua renta, yah mungkin memang ini sudah takdir dari Ilahi dan sebagai hamba kita hanya bisa bersabar.
            Setiap pulang sekolah, Rina berjalan berkeliling kampung berjualan kue yang terbuat dari tepung beras dan gula jawa. Kadang dagangannya habis kadang pula tak ada pembeli seorang pun, semua dilakukan agar ia tetap bias bersekolah.
            Tiga tahun Rina lalui dengan keadaan yang sungguh menyedihkan, disaat memubutuhkan kasih sayang kedua orang tua, dia justru tak mendapatkannya. Hanya gundukan tanah kuburan milik kedua orang tuanya yang tak jauh dari belakang gubuk peninggalan orang tuanya yang selalu menjadi tempatnya mengadu keluh kesah, rasa rindu dan bahagianya,.
            Rina kini telah beranjak remaja, ia telah kelas satu di sekolah Tsanawiyah. Kakek yang dahulunya mengasuhnya pun kini hanya bias terbaring lemah, tak sanggup berbuat apa-apa lagi, kembali Rina dihadapkan pada keadaan yang sama, harus menanggung hidup sendiri dengan serba kekurangan. Untunglah sesekali tetangga memberikan sedikit Rezeki untuk Rina membeli kebutuhan sehari-hari. Tak ada kata berobat ke rumah sakit dalam kehidupan Rina, sudah kuadarat orang kecil mungkin memang demikian. Sepertinya memang kalau sakit hanya bisa berpasrah.
            Pada suatu sore hari, tiba-tiba dating seseoarng dengan perawakan badan kurus dan rambut ikal, menghampiri Rina dan bertanya, “Maaf dik, kemana ya penghuni rumah itu” sambil menunjuk kerumah Rina yang sudah lama kosong dan tak terawatt lagi. “Tadi saya coba ketuk-ketuk pintu tapi sepertinya rumah itu lama tak di.huni”.
“Kaka ini siapa?” Tanya Rina, “saya Budi, saya anak dari pak Rahman, sudah lebih sepuluh tahun saya meniggalkan rumah saya, saya masih kecil waktu itu” ujarnya.
            Rina tiba-tiba saja menangis, dalah hatinya berkata” inikah mas Budi, saudaraku yang diceritakan ibuku dahulu”. Dengan wajah memerah dan pandangan mata yang tajam memandang laki-laki itu dia berkata “Aku rina, aku anak pak Rahman dan ibu Dewi, beliau berdua telah lama meninggal dunia, aku adikmu kak budi, aku adikmu” kata Rina sambil terus mencucurkan air mata. Kaget mendengar hal itu, Budi pun menangis, ia tak menyangka kalau yang dihadapannya adalah adiknya yang dulu waktu ia masih kecil masih dalam kandungan ibunya. Terlebih lagi mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya telah tiada. Dia pun merangkul Rina, meratapi nasibnya dan merasa sangat berdosa dan menyesal. “Maafkan mas dik, aku anak paling durhakan di dunia ini, bahkan hidup seribu tahun untuk berbuat baik tak akan mampu menghapus dosa-dosaku, maafkanlah kakak dik maafkan”. Rina tak mampu menjawab, hanya air mata yang bias mengungkapkan betapa campur aduk perasaanya saat ini. Setelah kejadian yang mengharukan itu, mereka menuju tempat kedua orang tuanya terbaring dan membisu selamanya. Budi tak sanggup menahan kesedihan, ia memeluk batu nisan milik ibunya meratapi keadaanya, sedih dan bersalah yang begitu hebatnya, disamping makam ibunya, juga ada makam ayahnya yang telah lama pergi sebelum ibunya.
            Senja kini datang menjemput siang untuk berganti malam, dua sedarah itu berajak meniggalkan kuburan orang tua mereka dan berjalan menuju rumah kakek. “Disini mas, disini aku tinggal selepas kepergian ibu, aku dirawat oleh kakek Ikar, namun kini keadaan kakek juga sudah tidak sehat lagi”. Sambil berjalan menuju kamar kakek yang sedang terbaring. “Kek” sapa Rina. Kakek membuka mata yag tadinya terpejam, “Ini kak Budi kek, kakak Rina yang dulu ibu ceritakan ke Rina”, kakek menoleh kearah Budi yang tepat berdiri disamping Rina. “Budi, kamu sudah besar nak, betapa bangganya seandainya ayah dan ibumu melihatmu andai kata mereka masih ada”, pungkas kakek dari atas pembaringan yang terbuat dari jerami dan dilapisi sehelai kain sarung usang.
Lalu dengan cepat Budi meraih tangan si kakek dan berlutu sambil merebahkan wajahnya ditangan renta itu, “Kek, maafkan Budi, Budi tidak bermaksud meninggalkan mendiang bapak dan ibu dahulu. Hari itu budi berjalan-jalan kepasar, mencari orang yang mungkin mau menggunakan jasa Budi sebagai kuli, tapi entah dari mana datangnya dua orang pria yang tiba-tiba membekap Budi, membawa Budi kesuatu tempat yang Budi tak ketahui, lalu Budi di kurung kek”, berkisah si Budi.
“Lalu?” Rina tiba-tiba memotong pembicaraan kakaknya. “Iya Rin, kakak dibekerjakan disebuah pabrik Rokok selama sepuluh tahun lebih, dan selama itu pula kakak tidak pernah melihat dunia luar, sehabis kerja kakak dikembalikan di kurungan. tapi perusahaan yang kakak tempati dijadikan budak kini bangkrut dan kakak bias sampai kisini, dan entah kemana lagi saya harus mengadukan semua ini”. Imbuhnya.
            Si kakek tersenyum kecil dan kembali memejamkan matanya yang sedari tadi sayup. Suasana kembali hening, senja pun berganti malam. cahaya pelita dari balik gorden tua nampak remang-remang membiasi duka malam itu. Malam itu suasana memang nampak berbeda dari sebelumnya, kehadiran Budi bak semangat baru untuk Rani, betapa tidak, kakak yang sudah dianggap tak akan kembali lagi kini ada di depan pandangannya. Keesokan harinya pagi-pagi buta Rina sudah tersadar dari tidurnya dan bergegas menimba air dari sumur di serambi rumah kakek untuk mandi dan memasak. kondisi kakek nampaknya sudah mulai membaik. Selepas berbenah, Rina berpamitan kesekolah.
            Sudah pagi-pagi saja Budi kelihatan sudah memikirkan sesuatu, tak henti-hentinya dia mondar-mandir di beranda gubuk. Sesekali menggaruk kepalanya. Rupanya terlintas dibenaknya untuk mengajak kakek beserta adiknya untuk berpindah ke kota. Kebetulan saja dia mempunyai kerabat di kota. fikirnya di kota mungkin dia bisa  bekerja dan mengontrak rumah. “Ya aku akan mengajak Rina dan kakek ke kota, disana Rina bisa melanjutkan sekolah dan kakek pun bisa berobat ke Puskesmas atau Mantri”, ujarnya dalam hati. Matahari nampaknya sudah tepat diatas ubun-ubun, tak lama berselang Rina pun sudah di rumah tua itu. Budi masih merasa ragu untuk menyampaikan keinginannya, tapi dia harus berani imbuhnya dalam hati lagi. Ketika Rina menyuapi kakek untuk makan siang, Budi menghampiri mereka. Dia mengutarakan keinginannya untuk memboyong adiknya dan si kakek untuk pindah ke Kota. “Nanti sesampai di kota kita tinggal sementara di rumah kerabat saya kek, sembari saya mencari kerja dan rumah untuk kita tinggal, kita numpang saja dulu disana. Kebetulan kawanku tempat kerjanya jauh, jadi dia balik seminggu sekali dan orang tuanya pun ada dikampung halamannya”, bujuk Budi mencoba meyakinkan si kakek dan adiknya. Rina nanti bisa bersekolah disana juga dan kakek bisa berobat ke Puskesmas atau Mantri disana”, imbuh Budi. Dan nampaknya kakek dan Rina setuju dengan itu.
            Seminggu berlalu, mereka pun hendak berangkat ke kota hari ini, untung saja Budi mempunyai sedikit sisipan uang hasilnya bekerja. Setiba di Stasiun Budi membeli tiket dan menuju ke kereta yang tidak lama lagi akan berangkat.
            Setiba di kota tujuan, secarik lembaran kertas diambilnya dari saku depan, rupanya itu adalah catatan alamat rumah kerabatnya. Setelah berkeliling-berkeliling mencari akhirnya alamatnya ketemu juga. Tapi keadaan yang dikatakan sahabatnya itu Nampak berbeda sekali, Nampak ramai rumah ini.
            Ting..tong…..bunyi bel dari dalam, tak lama berselang, pintu rumah terbuka dan nampaklah seorang anak muda. “Maaf, cari siapa ya”? tanyanya. “Maaf mas, bener ini rumah Joko?” Tanya Budi. “Iya mas, dulunya rumah ini punya mas Joko, tapi sekitar seminggu yang lalu rumah ini dijual dan keluarga kami yang membeli.”.
            “Kalau sedkit bias tahu, kenapa ya mas Joko menjual rumahnya”? Tanya Budi
            “Wah kalau itu saya kurang tahu mas”,  pungkas anak muda tadi.
            “Oiya mas, saya pamit permisi dulu” kata Budi. Dan anak muda tadi Cuma membalas dengan senyuman kecil.
Pupus sudah harapan mereka, mereka tak tahu mau kemana lagi. Kakek pun keliatan lemas, mungkin lelah ditambah lagi dengan kondisi fisiknya yang sudah tua renta.
            Mereka mampir di sebuah Mushallah untuk melepas lelah,  
(BERSAMBUNG) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan dari Para Pembaca Budiman Adalah Motivasi Saya