Karya : DR B.F.Matthes, Boeginische Chrestomathic, I.P.L-27 dalam Rahim (1985:207-227).
Disadur Oleh : Ir.H.Abdu Samad H.A.Umar, M.Si.
Ceritera ini merupakan ceritera rakyat (Legenda) yang mempunyai banyak
peristiwa yang luar biasa. Substansinya ada pada Nilai-nilai Utama
Kebudayaan Bugis, dan sangat berguna pada saat ini dimana budaya
sipakatau atau sipakalebbi sudah mengalami pergeseran dalam alam
demokrasi lokal. Baik itu masyarakat lokal maupun bagi pasompe
(Pengembaraan Orang Bugis) yang senantiasa rindu kampung halamannya,
maupun pernah mendengar ceritera masa lampau oleh orang tua kita dahulu
hingga dibawa ke perantauan. Hal ini merupakan ceritera tersendiri di
kalangan pasompe, membuat rindu kampung halaman, sanak saudara dan Wari’
(asal usul), memperpanjang usia (lamperi sunge) karena mengembang
biakkan manusia (Pabbija Tau) dan Merindangkan Pepohonan (Palorong
Welareng) di tanah seberang di mulai dari Cina, Malaysia, Singapura,
Kamboja, Philipina, dan Australia (Hamid;2004). Bahkan sampai ke Johor,
Selangor, Trenggano, dan Pahang. Begitu pula La Maddukelleng dalam
pengembaraannya menaklukkan Kesultanan Pasir tahun 1726, kemudian
merebut Kutai, Pangatan, Banjarmasin dan daerah sekitarnya. Disebutkan
bahwa La Maddukelleng kawin dengan anak Sultan Pasir yang bernama Andeng
Ajeng. Setelah Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir 14, Ayahanda Andeng
Ajeng) wafat, istri La Maddukelleng dicalonkan menjadi Ratu Pasir, Namun
sebagian orang-orang pasir menolak pencalonan tersebut. Akibat dari
penolakan itu, pasukan La Maddukelleng menyerang dan menaklukkan Pasir.
Hasil penaklukan tersebut La Maddukelleng naik tahta menjadi Sultan
Pasir ke 15, selain itu beliau juga bergelar Arung Peneki, Arung
Singkang, Arung Matoa Wajo ke XXXI (Maulana;2003).
La
Maddukelleng Daeng Simpuang adalah keturunan ke-6 dari La Tadampare
Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo ke IV dengan We Pageri Arung
Cabalu, Latadampare adalah anak dari La Tompi Wanua Arung Sailong dengan
We Tenri Lewi (Saudara La Tenri Ampa Arung Palakka) dan Lamaddukelleng
adalah cucu dari Arung Menge Ranreng Talottenreng. Sesuai dengan hukum
adat ketatanegaraan Kerajaan Wajo, Arung Matowa Wajo harus dilantik oleh
Arung Betteng Pola yang mempunyai kedudukan sebagai Petta Inanna Limpoe
(Ibu Rakyat Wajo) (Maulana;2003:38). Adapun asal usul Arung Betteng
Pola, Arung Talottenreng dan Arung Sao Tanre (Ranrenge ri Tua)
merupakan anak-anak yang lahir dari perkawinan putri Mappajunge (Raja
Luwu) dengan putra Arumpone (Raja Bone). Asal usul nya dikemas dalam “PAUPAU RIKADONG”
Konon kabarnya di Kerajaan Luwu pada masa lampau mempunyai seorang
Puteri (Arung Welampelang) yang ditimpa bencana yaitu mengalami penyakit
kulit yang baunya sangat amis dan busuk ( masala uli ). Dia anak
tunggal sekaligus sebagai anappattola (Pewaris Tahta). Pada suatu
waktu berkumpullah rakyat Luwu bersama para Tokoh Adat (Pampawa Ade’)
disebabkan orang di Luwu takut ditulari penyakit yang seperti itu.
Ayah-bundanya menjadi susah karena musibah yang menimpa putrinya.
Berdatanganlah para dukun (Sanro) dan tabib, tetapi penyakitnya malah
membuat orang tak tahan mencium baunya yang sangat menusuk hidung. Dia
hendak dibunuh, tapi tidak boleh sebab dia adalah keluarga yang tak
boleh didurhakai lagi pula ia berdarah mulia (Maddara-takku’), karena
Raja (Mappajung) mereka di sana dianggap berasal dari dewa (Batara Guru
Sangkuru Wira Mula Tau Tellang Pulawennge) yang berdarah putih bagaikan
getah dari pohon takku bagaikan susu, Takku (Caktus) (Mappasanda,2007).
Oleh karena itu amat susahlah orang di Luwu. Terjadilah pada suatu
waktu, orang Luwu berhimpun sampai di Wara yang berbatas dengan
Baebunta, demikian pula mereka yang berada di Bulu’ Polo. Adapun sebagai
hasil dari persetujuan mereka adalah sepakat menghadap ke Mappajunge
(Raja Luwu) untuk memperoleh persetujuan yang telah disepakati oleh
mereka yaitu yang mana kiranya dihargai oleh beliau, telur sebutir atau
telur yang banyak. Setelah mereka duduk berhadapan dengan Mappajunge
mereka tunduk, bisu seribu bahasa. Maka bertitahlah Mappajunge,
“Apakah hajat kalian Adat Luwu bersama dengan orang banyak?” Adat Luwu
sama berucap : “Tiada lain hajat penting yang kami bawa menghadap Raja
kami selain hendak menyampaikan rasa takut kami, demikian juga takut
ditulari penyakit yang menimpa Puteri Raja kami. Adapun kesepakatan dan
persetujuan (Siamaturuseng) kami adalah yang mana Tuan inginkan, telur
yang sebutir ataukah telur yang banyak. Sekiranya Tuan menginginkan
telur yang sebutir, maka berkehendaklah rakyat (atanna) Mappajunge
malleke’ dapureng, berpindah orang di Luwu sampai di Wara sini, batasnya
di Baebunta sana, tempat diterima beritanya di Bulu’ Polo sana. Akan
tetapi sekiranya Tuan masih tetap mencintai telur yang banyak, baiklah
kiranya jikalau puteri Raja kami yang malasa kumpinge (berpenyakit
infeksi pada kulit) itu dijauhkan. “Kubenarkan kata kalian orang di
Luwu, “Jawab Raja”. Lebih kuhargai orang yang banyak dari pada orang
yang satu. Bukankah janjiku dahulu, janji yang kita sepakati bersama
(Risiamaturuseng), yang disaksikan oleh Topabbare’ bareede (yang maha
memelihara) bahwa meskipun anakku, isteriku, sekiranya kalian
mencelanya, akupun tak menyukainya. “Ini merupakan pertanda seorang Raja
yang memiliki nilai Lempu’ (kejujuran), Asitinajang (Kepatutan) dan
Getteng ( Keteguhan)” kemudian Raja Luwu berkata betapakah pendapat
kalian?” Serentak berucap Adat Luwu, “syukur alhamdulillah” sebab
Mappajunge ternyata mengikuti kesepakatan orang banyak. Kalau demikian
titah Baginda maka kami pikir, Tuan Puteri sebaiknya di buang (ri pali),
sebab hendak dialirkan darahnya, hal tersebut tak dapat diadatkan di
tanae’ di Luwu ( Yanaro ana appona Mappajunge de siseng-siseng nawedding
dibukkakan darana ). Baginda pun menjawab “Kuteguhkan (Magetteng) apa
yang kalian setujui”. Kemudian Adat Luwu bersama orang banyak berkumpul
untuk membuatkan rakit besar (pincara) bagi puteri Rajanya. Setelah
rampung, merekapun bersama-sama naik memberitahukan Baginda. Ketika
mereka berada di hadapan Baginda, bertitahlah beliau kepada puterinya.
“Kumpulkan semuanya hai anakku, barangmu yang telah kuserahkan menjadi
milikmu. Ambil juga semua sahayamu yang engkau senangi untuk
menyertaimu. Pergilah kerakit membawa nasibmu (Totomu). Betapa besar
cintaku inginkan kita hidup bersama-sama tetapi negeri dan rakyat Luwu
tak mengizinkannya disebabkan penyakitmu ketika itu. Sang puteripun
mengumpulkan inannyumparenna (ibu penyusunya), pattarana’na (yang
memelihara dan menjaganya) semua sahanya; dikumpulkannya pula semua
barang yang telah dimilikinya kepadanya. Segala-galanya telah siap, lalu
diapun serombongan berangkat turun ke rakit. Diantar oleh ayah-bunda
Rajanya (Mappajunge-Petta Makkunrai), Adat (Pangaderreng) , anak-anak
raja (Anakarung), putera-putera mahkota (Anappattola), dan orang banyak
(Pabbanuwa). Tali tambat rakitpun ditetas dan semuanya sudah berada
diatas rakit. Sama merangkun rakit ke tempat yang dalam, dihanyutkan
oleh arus sungai. Empat puluh hari, empat puluh malam, mereka hanyut tak
tentu tempat tujuannya. Hanyalah nasib (Toto) dan nilai luhur yang
dimiliki oleh sang puteri yaitu Asitinajang (Kepatutan), Getteng
(Keteguhan) atau kesabaran, meskipun mata tak bisa terpejam karena
memikirkan suratan takdir (Pammase) dari yang maha memelihara yang mesti
diterima di dunia ini. Mataharipun bersinar dari atas gunung. Sinarnya
berpendar-pendar lembut terang-temerang. Dan Allah memperlihatkan
kekuasaanNya; saatnya telah tiba. Rakit sudah berada di sungai yang agak
sempit. Sahayanya lalu sama-sama turun, menarik rakit mencapai tepian.
Merekapun naik ke darat, perempuan naik membenah, sedangkan laki-laki
sama pergi mencari tanah tempat berumah. Tampaknya negeri ini bukanlah
wilayah Luwu, mereka lalu menemukan pohon besar yang didekatnya ada
sungai-sungai yang tak pernah kering, mereka lalu berembuk dan semua
laki-laki memikir-mikirkan. Akhirnya sepakat untuk membangun rumah yang
patut (Sitinaja) buat Puteri Rajanya. Setelah rumah rampung dibangun,
maka turunlah mereka ke rakit untuk memberitahukan puteri Rajanya
tentang kesepakatan yang telah mereka buat. Tuan puteri mendengarkan
kata para sahayanya, termasuk mereka yang diambilnya sebagai orang tua
(Tomatuwa), sambil berkata “Apa yang telah menjadi kesepakatan kalian,
itu pulalah yang kudengarkan dan kuteguhkan (Magetteng)”. Lalu merekapun
sama kembali lagi lalu membangun pula rumah buat mereka masing-masing.
Semua laki-laki tadi sama pergi mpukke tana (membuka atau mengolah
lahan) ada yang berladang jagung, ada pula yang bersawah, juga ada yang
menanam keladi, pisang dan sayur-mayur. Itulah yang dikerjakan oleh kaum
laki-laki. Adapun yang dikerjakan oleh kaum perempuan, di waktu tanaman
suami mereka telah berhasil seperti padi (Sangiangseri) merekalah yang
menuainya lalu dibawakan kepada Rajanya, Demikianlah kelakuan sahayanya,
laki-laki dan perempuan. Pada suatu waktu, mereka membawa padi dan
jagung, menjemurnya di depan rumah Rajanya. Bila pagi datang, laki-laki
dan perempuan berangkat, juga orang-orang tua dan anak-anak semuanya.
Mereka berangkat pergi mencari rezki (dalle) di dalam hutan dan di
lahan. Jikalau mereka semuanya telah lepas berangkat, maka Tuan
puteripun yang berpenyakit kulit itu pergi pula menjemur padi. Begitulah
kelakuan sahaya dan sang Raja setiap harinya. Terjadilah pada suatu
waktu, ketika sang Puteri turun ke tanah hendak membenahi padi yang ada
di depan rumahnya, tiba-tiba dia melihat seekor kerbau balar (Tedong
Mpuleng) sedang berada di dekat onggokan padi, Diapun pergi menghalaunya
tetapi dia sendiri hendak diseruduk oleh kerbau balar, bahkan dikejar
kian-kemari sampai Tuan Puteri terjatuh. Maka datanglah sang kerbau tadi
menjilat seluruh dahinya sampai sekujur tubuhnya. Kemudian sang kerbau
balik kembali masuk hutan. Anak Rajapun bangkit berdiri dengan penuh
lumuran air liur sang kerbau. Lalu Tuan Puteri pergi mandi di sungai
yang ada di dekat rumahnya. Selesai mandi, diapun naik kerumahnya
(Salassana) sambil memikirkan nasibnya takdir dari Allah Subhanahu
Wataala. Tuan puteri lalu mengambil cermin dan berkaca memperhatikan
dahinya bekas jilatan kerbau. Diperhatikannya wajahnya, dan dilihatnya
sudah ada perubahan; demikian pula perubahan pada tubuhnya. Dia pergi ke
tempat tidurnya membaringkan dirinya, lalu terlena sampai tertidur.
Ketika dia terjaga dari tidurnya, diapun menyaksikan dirinya,
penyakitnya telah berubah, semua sahanya yang sedang gembira kembali
dari pekerjaannya, bertambaha bersuka cita menyaksikan Puteri Rajanya.
Demikian itu kerjanya setiap hari, Jikalau pagi telah datang, diapun
turun ketanah menjemur padinya, dan sang kerbau datang pula menjilat
sekujur tubuhnya sampai kulit Tuan puteri pulih kembali keadaannya
seperti semula dia dijadikan oleh Allah ta’alah (Suatu pertanda bahwa
jika Allah menghendaki tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu
menghalanginya). Tepat pada saat itu konon kabarnya, pada suatu
waktu putera Arumpone (Anappattola) hendak pergi berburu, maka
dikumpulkanlah semua anreguru pakkennyarange (Guru penunggang kuda)
bersama mereka yang gagah perkasa. Keberangkatannya telah disiapkan
dengan pengiringnya (Joa), para penunggang kudanya. Lantas guru
penuggang kuda naik menghaturkan kepada Arumpone (Raja Bone), kemudian
Baginda bertitah kepada pembawa puan (pakalawingepue) supaya pergi
menyampaikan Putera Mahkota (Anappattola) agar berangkat besok pagi
menuju Awangpone berburu rusa. Pada keesokan harinya, Putera Mahkotapun
berangkat diiringi oleh para penunggang kudanya dan mereka yang gagah
perkasa, Tujuh hari tujuh malam dalam perjalanan, mereka kehabisan bekal
dan laparpun mulai terasa sehingga Beliau merasa ibah melihat semua
orangnya sedang menanggung lapar. Dia lalu menyuruh supaya pergi mencari
makanan sebab terasa sangat lapar. Orang banyak membagi diri
terpencar-pencar ke segala penjuru untuk mencari makanan. Ada yang
menyusuri sungai Walanae (Sungai Cenrana), ke bawah; ada yang tetap
mengikuti sungai itu, dan ada pula yang menyeberanginya di bagian
sebelah bawah. Yang terakhir inilah yang menampak asap kejauhan.
Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Mereka ini terperanjat menyaksikan
sejumlah rumah, dan sebuah rumah besar menandakan rumah Raja. Ketika
yang disuruh tadi (Suro) tiba, maka sekonyong-konyong tertangkap matanya
pada tuan Raja Puteri. Hati berdebar menyaksikan kecantikannya. ” Apa
gerangan hajatmu,” kata Tuan Puteri yang empunya rumah; “Orang dari mana
kamu, mengapa kalian kelihatan gugup memandang saya. “Sembah Tuan”,
jawab yang disuruh, “kami dari Bone, disuruh oleh Putera Arumpone
(Anappattola) pergi mencari makanan sebab dalam perjalanan berburu,
bekal kami telah habis, sehingga kamilah yang disuruh mencari makanan”.
Berkatalah yang empunya rumah kepada pattudang (protokol) supaya pergi
memasakkan putera Arumpone. Pattudang bangkit; beras diambilnya juga
ayam disuruh potong. Gadis-gadis bangsawan datang semuanya. Bersama
pattudang mereka lalu memasak makanan yang akan diantar, dibekalkan pada
pesuruh putera Arumpone. “Terimalah makanan ini,” kata Raja Puteri
kepada Suro (pesuruh). “Bawakan putera Rajamu dan sampaikan kepada
beliau bahwa tidak ada yang lain dapat kubekalkan kecuali hanya sekedar
ini saja, nasi dan lauk-pauknya serta beberapa buah telur, sebab kamipun
di sini adalah orang terdampar dari Luwu. Hanyalah teman-teman saya
yang bercocok tanam sehingga adalah yang dimakan.” Adapun suro amat
tertarik pada sikap yang manis lagi menyenangkan itu, ditingkah pula
keindahan tutur kata yang tak terlukiskan. Tiga orang suro tadi
mengatur sembah, mohon pamit sambil berangkat pulang memikul bawaan.
Setelah mereka tiba, maka orang banyakpun sama terkejut termasuk Rajanya
yang menyaksikan, disamping banyaknya juga dalam keadaan yang sangat
berpatut (Sitinaja). Dari Awassalo Tuanku,” kata suro, “kami mencari
makanan. Seorang gadis Puteri Raja yang membekalkan. Konon beliau
datang dari Luwu. Sembahku Tuanku, tiada pernah kulihat ada perempuan
secantik dia. Ramah-tamah pada joa’na (rakyat pengikutnya), pandai
mengumpul-menghimpun orang yang baik budi pekertinya (madeceng
kininnawai), lagi bijak bertutur kata. Banyak temannya dan juga lengkap
peralatan semua laki-lakinya. Beliau yang membuka tanah, berumah di
bawah pohon Wajoe”. Putera Raja mendengarkan semua kesan yang
disampaikan, kemudian mereka makan bersama-sama. Selesai makan,
berkatalah Putera Arumpone; “pakailah masing-masing senjatamu dan
siapkan semua kuda, Aku ingin mengunjungi Raja perempuan tersebut, yang
datang dari Luwu itu. Dia begitu besar ibah hatinya mengirimkan makanan
kepada kita”. Semuanya sudah di atas kuda, satu rombongan berangkat
menuju Awassalo. Suro tadi yang dijadikan mata laleng (penunjuk jalan).
Tiba-tiba mereka terkejut nampak sebuah rumah Raja, dikelilingi
rumah-rumah sahayanya, dialiri sungai-sungai yang tak kering. Ketika
mereka tiba di ambang perkampungan Raja perempuan, lalu rombongan turun
dari kuda mereka, Putera Arumpone menyuruh naik memberi tahukan tentang
kehadiran dirinya. Setelah suro tiba diatas, berkatalah pattudange;
“Suro dari mana engkau, apa gerangan hajat anda, siapa yang menyuruh?”.
“Putera Arumpone yang menyuruh saya. Beliau sekarang berada di ambang
rumah berhajat menemui Tuan Raja Puteri dari Luwu, “Jawab suro. Maka
berkatalah inannyumparenna Raja yang empunya rumah, “bagaimana pendapat
senngata (panggilan sederajat antara mereka yang berbakti kepada raja),
sebab Raja seorang gadis (Welampelang). “Tiada lain yang dihajatkan
Puwakku (Rajaku) kecuali ingin naik makkasuwiyang (bertemu dan berbakti)
sebab beliau telah dikirimi makanan yang memberatkan perasaannya, yang
juga dirasakan oleh rombongan dan sesama kami, jikalau tidak datang
membawa diri kehadapan Tuan Puteri Raja dari Luwu. Maka Inannyumpareng
(indo pasusunya) pun lalu masuk ke bilik (kamar) memperkatakan kepada
anaknya. Berkatalah puteri Rajanya; “Jikalau demikian kesepakatan
kalian, undanglah beliau naik dan ajak pula semua lelaki yang telah
kujadikan orang tua.” Tidak lama kemudian, hadirlah seluruh joa’na
(Kesatria) yang laki-laki dan mereka yang dijadikan orang tua. Lalu
dijemput pulalah rombongan orang yang dari Bone naik di watampolae
(rumah induk; tetamu yang diterima di rumah induk, adalah tamu yang amat
dihormati). Sesudah itu, lalu disambut pula Putera Armpone oleh
Pattudange, dibasuh kakinya dari cerek emas, diantar oleh
Inannyumpareng, didudukkan di atas tikar permadani. Sambil duduk, mereka
semua terheran-heran menyaksikan saniasa (keteraturan yang berpatutan),
kelengkapan bagi kaum perempuan, kelengkapan bagi kaum laki-laki.
Kemudian masuk inannyumpareng menjemput anak Rajanya. Beliau di antar
keluar, dibimbing oleh Pattudanna, makkasuwiyang di hadapan putera
Arumpone. Takjub mereka semuanya menyaksikan gerak langkah gemulai dan
raut wajah yang mempesona. Setelah Tuan Puteri Raja duduk di atas tikar
permadani, maka tersimbah perasaan, guncang hatinya putera Arumpone.
Entah duduk, entah berdiri, duduk salah tegakpun salah. Terlenakah dia
tak sadarkan diri lagi, gelap penglihatannya dan rebah jatuh (pingsan)
di atas tikar permadani, bersamaan dengan itu pula Inannyumpareng
melompat menerima kepala putera Arumpone. Secepat itu pula Tuan Puteri
Raja minta air di mangkuk putih, Cepat juga Pattudang membawakannya.
Tuan Puteri membuka sanggulnya dan rambut lepas terurai sudah, dia lalu
mencelupkan ujung rambutnya ke dalam air di mangkuk putih, lantas
dipercikkan ke wajah putera Arumpone sampai dia sadarkan diri. Semua
yang hadir takjub melihat kecantikan yang empunya rumah dalam keadaan
rambut tebal terurai itu. Setelah sadarkan dirinya, bermohon dirilah
dia bersama semua pengiringnya (joa’na), siap berangkat kembali ke
Bone. Begitu dia berada di tanah, diapun menengadah kelangit sambil
membisikkan hatinya. “Ya Allah, telah tertambat hatiku, jika benar aku
seorang anak yang tak boleh didurhakai (toriabusungeng) dan jika membawa
kebaikan bagi diriku serta kebaikan bagi orang banyak, tolong bentengi
aku ya Allah, supaya dapat aku mempersunting Puteri dari Luwu ini.
Tetapi jika sekiranya akan menjadi kebinasaan bagi diriku dan bagi orang
banyak, tolong aku ya Allah, hindarkan hati yang terpukau ini, tiada
kemauan yang akan jadi, iradatMu jualah yang berlaku.” Begitu
selesai membisikkan hatinya (berdo’a), begitu dia melompat menunggang
kudanya, diantar, dikawal oleh para pengiringnya, keluar meninggalkan
gerbang, melintasi sungai Walanae, menuju Attassalo. Tujuh hari, tujuh
malam perjalanan di tempuh baru mereka tiba di rumahnya di Bone. Begitu
beliau turun dari kudanya, langsung saja naik ke sallassa’e (istana) dan
segera masuk ke biliknya (kamarnya), membuka kelambu sambil merebahkan
badannya, terus menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya menangis
merindukan Tuan Puteri yang telah memikat hatinya dalam perjalanannya.
Ketika waktu malam tiba, Arumpone lalu mencari puteranya sambil
bertanya kepada Inannyumparenna. “O Kino (nama yang biasa dipergunakan
oleh raja untuk memanggil Inannyumpareng), “mana anakmu”. “Sembahku, dia
sedang tidur Puang !, “Jawabnya. Bangunkan dia, lalu ajak dia keluar makan,” perintah Raja (Arumpone).
Dia dibangunkan namun tiada juga mau bangun melainkan hanya menangis.
Kepada Raja disampaikan; “Sembahku,” kata Inannyumpareng, “Dia tidak mau
bangun kecuali terus saja menangis, sejak dia kembali dari berburu, tak
pernah dia bangun.” “Sakit apa gerangan dia anakmu, Kino?” tanya Raja
lagi. Dia tidak demam, tidak pula sakit kepala, ya Puang,”Jawab
Inannyumpareng. Maka bangkitlah Arumpone (Petta Mangkau) bersama
permaisuri (Petta Makkunrai), masuk menjenguk puteranya. Sampai di
dalam, beliau meraba kepalanya sambil berkata ayah bundanya. ” O Baso,”
(nama panggilan orang tua kepada anak laki-lakinya) “kenapa engkau
demikian, apa sakitmu,” Namun si anak tetap saja menyelimuti kepala dan
kakinya sambil air mata tertumpah dari rintihan bayangan rindu.
Berkatalah Ayahnya, “Kalau-kalau ada orang yang mengganggu hatimu, maka
akan kuperangi negerinya. Bangunlah Baso, mari kita keluar makan.”
Keadaan-nya tak berubah, isak tangis terus juga, dan tetap menyelimuti
seluruh badannya, maka bersusah hatilah ayah-bundanya melihat keadaan
puteranya. Mereka inipun keluar makan, dan Arumpone menyuruh panggil
Anreguru Pakkennyarange yang menyertai perjalanan Arung Malaloe (Tuan
Raja Muda). Anreguru pakkennyarange pun telah hadir di hadapan
Arumpone, dan diapun ditanya.”Hai Anreguru, apa yang menyebabkan Arung
Malolo terus saja menangis membungkus kepala dan kakinya dan tidak
hendak bangun makan?. “Sembahku,”kata Anreguru,” tiada pengetahuan saya
sebab setiba tadi dari berburu, dia tidak demam, tidak sakit juga
kepalanya, tidak pula pernah terjatuh dari kuda.” “Kalau-kalau ada orang
yang mengganggu perasaannya,” desak Petta Makkunrai (Permaisuri ).
“Dua kepala orang tak akan berani berbuat demikian atas diri Arung
Maloloe,’ sambung Anreguru, “Mungkin dia jatuh cinta pada anaknya orang,
ataukah dia pernah melihat sesuatu yang tak biasa baginya lalu menawan
hatinya tetapi malu mengatakannya?” Desak lagi permaisuri. Maka
mulailah Anreguru hendak menjelaskannya. Biarlah hamba dibunuh, hamba
disembelih. Daunlah saya sedangkan Tuan angin. Paranglah saya, Tuanlah
yang menetakkan. Hamba hendak menjelaskannya. Adapun Arung Malolo
tidaklah demam, tidak sakit kepala tetapi memang dia sedang menanggung
sesuatu di dalam hatinya.” Demikian Anreguru berceritera panjang lebar
kepada Puangnya. “Sesudah Arung Malolo kembali sadarkan diri, sama
takjublah kami semua menyaksikan lagi sebuah kecantikan yang mempesona
dalam keadaan rambutnya Tuan Puteri lepas dari sanggulnya terurai
panjang. Kamipun dijamu kue-kue, takjub kami menyaksikan cara dan
sedianya. Demikian juga guru Pattudanna, tentang caranya menghidangkan
makanan, Aneka rupa macamnya kue sedang tak kelihatan asap, sampai
semuanya masak, demikian juga orang yang membuat kue. Arung Malolo
diaturkan jamuan diatas baki dari perak (Salaka), cangkir tempat minum
kopinya dari emas (Ulaweng), sedangkan tempat kuenya dari bessikelling
(nikel), semuanya ditata emas. Adapun tangkup bakinya adalah sutera
berwarna kuning. Ketika Arung Maloloe menginjakkan kakinya di tanah,
pandangan Tuan Puteri tak pernah lepas dari balik tellongeng salae’
(jendela bukan jendela utama) sampai keluar meninggalkan gerbang.
Disepanjang jalan hanya seperti jalan kenangan tidak satupun butir kata
yang keluar dari mulutnya sampai kami semuanya tiba dan masing-masing
kami turun dari kuda. Hanya butir-butir air mata tampak jatuh berderai
yang dibawanya naik ke salassae’. Dia langsung masuk ke biliknya, terus
membuka kelambu, lalu merebahkan badannya sambil menyelimuti kepala dan
kakinya. Hanya inilah sembahku,”kata Anreguru menutup keterangannya.
Rupanya waktunya telah tiba, Nama harum Tuan Puteri Raja mulai hendak
semerbak. Kemudian berkatalah Arumpone (Raja Bone) kepada isterinya,
“Tahu aku akan caranya. O, Tuan Permaisuri, beritahu putramu supaya
tidak usah bersusah begitu. Jikalau benar hatinya telah terpaut pada
puteri Raja dari Luwu, kalau memang kasihnya timbul dari lubuk kalbunya
yang bening (Ati Macinnong) mencintai puteri itu, maka akan ku kirim
duta (Suro). Kalau sampai dia menolak lamaran kita, biar kuperangi
negerinya. “Masuk lah indo Puwanna/Petta Makkunrai (ibunda rajanya)
menuturkan kepada anaknya. “E, Baso, bangun kemari nak, apa yang engkau
rintihkan dan kesulitanmu. Sekiranya ada samamu anappattola (anak
pewaris tahta kerajaan) yang menggoda hatimu, biarlah kita meminangnya,
membuat sama tinggi tiang rumahnya. Sekiranya dia adalah tosama’mua
(orang kebanyakan) yang mappolo ada (melanggar aturan), biarlah kusuruh
bunuh. Tetapi jika memang kamu telah jatuh cinta, biarlah kami mengatur
duta.” Demikian bujuk bundanya meyakinkan puteranya. Betapapun
senang hatinya mendengarkan kata ibunda rajanya ibarat terasa madu yang
dituangkan ke dalam lubuk hatinya. Lantas dia bangun membenahi
pakaiannya sambil berkata “Bundaku, biar saya dibunuh dan disembelih,
biar dibuang di kejauhan, Memang saya telah jatuh cinta pada Puteri Raja
dari Luwu. Jikalau bunda tak sedia memahami hati yang diamuk cinta ini,
biar kubunuh diri ini. Sebab tiada lagi artinya dunia bagi diriku.
Kalau tak dapat kupetik dan kupersunting dia di dunia ini, biarlah jumpa
kekasih di akhirat kelak. “Lalu dia kembali lagi membaringkan dirinya,
menyelimuti kepala dan kakinya, merintih lagi dia. Biarlah aku
menyampaikannya kepada ambo’ puangmu (Tuan Raja,ayahmu), “bujuk lagi
Indo’ Puwanna. Sesudah disampaikan keadaan anaknya, Arumpone lalu
menyuruh Pakalawingepu (Pemangku Puan) menjemput Qadi (Petta Kalie) dan
Ade’ Pitue (Tujuh orang Raja sebagai Kepala Adat) Bone. Semuanyapun
telah hadir di hadapan Arumpone. Bagindapun berkata : “Kuminta kalian
bertindak sebagai duta, berangkat meminang Raja Puteri yang dari Luwu.
Tetapi persenjatai diri kalian. Sekiranya lamaran diterima, maka
tetapkan saja hari jadinya dan segera balik ke Bone menyampaikannya.
Tetapi jikalau natongkangi (mereka menolak) maka langsung saja angkat
senjata lalu suruh beritakan kemari.” Segalanya telah lengkap,
merekapun berangkat. Tujuh hutan ditembus, tujuh padang nan panjang
dilintasi, baru mereka tiba di sungai Walanae. Mereka menyeberangi
Awassalo. Tiba-tiba sahaya Tuan Puteri Raja menampak mereka. Segera dia
berlari memberitahukan Rajanya. Gegerlah semua perempuan dan sekalian
sahaya datang berkumpul, juga lelaki yang dijadikan orang tua. Disiapkan
senjata dan tombak, Pintu gerbang disuruh dijaga. Empat puluh pucuk
senjata, empa puluh laras meriam. Masing-masing dikawal, kemudian tiba
pulalah Ade’ Pitue bersama Qadi Bone serta orang banyak, maka
bertanyalah pengawal gerbang. “Orang dari mana kalian?” yang dijawab,
“Kami mengiringi Ade’ Pitue dan Qadi Bone.”Mereka diminta supaya
menunggu sebentar. “Senngata (sebutan bagi sesama sahaya) akan
menyampaikan dahulu kepada Tuan Puteri Raja.” Ada sejumlah orang yang
datang, mereka berkata, orang dari Bone. Dikatakan mereka bersama Ade’
Pitue dan Qadi Bone, disuruh oleh Arumpone. Inilah yang menyebabkan saya
naik ke mari,” kata pengawal pintu gerbang. Tuan Raja Puteripun
menyuruh supaya mereka di undang masuk. “Jikalau sudah takdirku tentu
tidak bisa tak kulihat apa yang telah kuiyakan lahir kedunia ini.”
Pintu gerbang dibuka, mereka yang datang sama masuk pula. Pattudang sama
menanti, juga tau rialena (Keluaga dekatnya) Tuan Puteri Raja. Mereka
menanti di tangga dengan cerek ditangan. Ketika tamu tiba di tangga,
dibasuhlah kaki mereka oleh Pattudange dari cerek perak (Salaka),
langsung naik mengantarkan ammerakeng (tempat sirih) Sesudah Ade’ Pitue
dan Qadi makan sirih, bertanyalah mereka. “O, Kino, dimanakah Tuan
kita (Puatta), Puteri Raja yang empunya rumah.” Beliau ada di dalam
bilik,” jawab Inannyumpareng bersama para orang tua. “Kepada siapa
sekiranya kami menyampaikan amanat yang disuruhkan Arumpone dan
permaisuri?” tanya duta dari Bone. Kepada kamilah semuanya disampaikan
amanat itu, pesan yang disuruhkan oleh Tuan Raja!”Jawab Inannyumpareng
bersama para orang tua. Maka berkatalah Ade Pitue bersama Qadi. “Kami
membawa hajat dari jauh. Berhajat Arumpone mempersuami-isterikan Adatnya
dan rakyatnya, mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau
betinanya Luwu, yang ada berumah, membuka negeri, di bawah pohon Wajoe.
Sekiranya orang Luwu tidak berkenan mempertukarkan kerbaunya dengan
kerbaunya Bone, Arumpone inginkan orang Luwu suka membuat sama tinggi
bentengnya dengan bubungan rumahnya!” Lalu berkatalah Inannyumpareng
dan orang-orang yang dipandang sebagai orang-tua kerajaan Luwu,”Biarlah
kami merembuk-rembukkannya lebih dahulu. Adapun yang telah kami
sepakati bersama, itulah yang akan kami bawa kepada Tuan Puteri Raja
kami. Apalah nanti yang diinginkan beliau, itu pulalah yang akan
kami sampaikan kepada Ade’ Pitue bersama Qadi Bone. Setelah tiba pada
saatnya, maka berkumpullah semua orang yang datang dari Luwu, semua
perempuan, para gadis, para pemuda nappae mattappi (yang baru mulai
memakai keris), bersama laki-laki yang tua-tua, sama-sama bertukar
pikiran. Maka adapun yang disepakati bersama yaitu menyetujui untuk
mempertukarkan kebau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu, lalu
mereka semuanya pun naik menyampaikan kepada Puteri Rajanya tentang
kesepakatan yang telah mereka ambil. Maka berucaplah Puteri Rajanya :”
Apa pun yang kalian telah sepakati, itu pulalah yang kudengarkan. Akan
tetapi yang menjadi keberatan bagiku jika hendak riarekare (disiasiakan)
dan riappanngaddiyang (dimadu).” Para orang tuapun yang dari Luwu sama
menyambut bahwa itulah juga yang akan menjadi keberatan yang akan
disampaikan kepada mereka yang disuruh oleh Bone. Jikalau hal itu telah
disyaratkan, lalu disetujuinya pula, kemudian dilanggarnya juga, maka
itulah yang menyebabkan na-ala puebulo (terbelahnya bambu; maksudnya,
menjadi gara-gara yang menimbulkan sengketa atau perang). Selesai itu,
keluarlah Inannyumpareng dan para orang tua yang dari Luwu menghaturkan
hasil permufakatan mereka termasuk syarat yang diajukan oleh Tuan Puteri
Rajanya. Berkatalah kepada Ade’ Pitue dan Qadi Bone. “Adapun yang telah
menjadi kesepakatan kami sengata (para abdi) dari Luwu, menyetujui
mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu.
“Hanya ada suatu ada-kipapolo (kata titipan atau pesanan).” Silahkan
sampaikan kepada kami agar kami mendengarkannya supaya kami juga
menyampaikan kepada Arumpone,” sambut duta, Maka berkatalah
Inannyumpareng :”Hanya yang menjadi keberatan kami riarekare’-e’ dan
rippadduwange (dimadu) Jikalau itu yang telah kami syaratkan, lalu
sampai terjadi atas diri kami, maka itulah yang kami jadikan alasan
puebulo.” Lalu dijawablah. “Kami telah mendengar semua kata anda. Itu
jugalah yang akan dihadapkan kepada Arumpone. “Lalu merekapun memohon
diri, sedangkan sebelumnya, waktu pelaksanaan sudah ditetapkan juga.
Merekapun tiba kembali di Bone, sama menghadap Arumpone. “Duta,
bagaiman hasil perjalananmu,” sambut Arumpone bersama permaisuri. “Kami
sudah kembali Puang, Apa yang diinginkan sama-sama disukai. Suka sama
suka dan sama ingin mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau
betinanya Luwu. Hanya ada sesuatu ada maelo napapolo.” “Apa gerangan
kata itu? Tanya Arumpone. “Hanya yang menjadi syaratnya orang Luwu yaitu
tidak mau disia-siakan (diarekare) demikian juga dimadu (dipadduwa).
Sebab mereka memandang diri, sebagai anappada (anak sederajat) dan
anappattola di Luwu.” Maka berkatalah Arumpone suami-isteri.”Memang
tidak boleh, hai Ade’ Pitu, saling menyia-nyiakan jikalau mereka
sama-sama anappattola. Sesudah itu, Arumpone menyuruh
memberitakannya di Tana Bone, sampai kepada seluruh palili’na (kerajaan
bawahannya) kepada keluarganya. Kemudian daripada itu, maka
berdatanganlah semua raja bawahannya (Arung Palili) Bone bersama
keluarganya, dengan segala bawaan mereka, datang massolo
(mempersembahkan tanda ikut gembira). Arumpone pun menetapkan hari
keberangkatan mengarak puteranya bersama permaisuri pun bertolak,
diiringi Ade’ Pitue, dan juga oleh orang banyak. Sesampainya di rumah
raja Puteri datang pulalah seluruh orang Luwu menjemput Arumpone bersama
bakal Rajanya. Dalam perkawinan antara Anappattola Luwu dan
Anappattola Bone sompanya adalah Sompa Tosellitoni (mahar yang tertinggi
yang hanya berlaku bagi anappattola Luwu). Lepas malam pantangannya
maka siyadecengini (berbaiklah keduanya) pengantin baru. Arumpone
bersama permaisuri pun disertai orang banyak, sama kembali pulalah ke
Bone. Hanya yang tinggal ialah masing-masing sahaya Tuan Raja Muda
(Arung Maloloe), juga seyajinna (keluarga) mereka. Beberapa tahun
kemudian, bersalinlah pengantin baru ini, Para sahayanya juga sama
beranak-pinak. Anak-pinak ini sama meninggalkan negerinya, pergi
berkelompok-kelompok. Ada kelompok yang pergi mencari kehidupan dengan
jalan menyadap tuak, melakukannya dengan cara taro tenreng yaitu
memasang tangga. Kelompok inilah yang disebut Limpoe ri Talottenreng
(Kelompok yang berdiam di Talottenreng). Adapula kelompok yang pergi
mencari penghidupan dengan menangkap ikan dengan cara mattuwa’tuwa’
bale yaitu dengan menggunakan tuba guna memabukkan ikan. Kelompok inilah
yang disebut Limpoe ri Tua’ (kelompok yang berdiam di Tua’). Adapun
kelompok lainnya yang pergi mencari penghidupannya dengan cara mabbang
alliribola yaitu menebang kayu untuk dibuat tiang rumah, selanjutnya
membangun rumah besar. Kelompok inilah yang disebut Bettempola.
Adapun anak-anak yang lahir dari perkawinan Puteri Mappajunge dengan
Putera Arumpone, masing-masing menjadi Raja pada setiap kelompok tadi.
Dia yang ke Talottenreng digelarlah Arunge ri Talottenreng; yang ke Tua’
digelar Ranrenge ri Tua; sedangkan yang mendiami Bettempola, dialah
yang digelar Petta Betteng. Tiga Raja tersebut masing-masing
mengangkat passulle (wakil, misalnya juga sulewatang, artinya wakil
pribadi), dengan gelar masing-masing sesuai dengan warna panji-panji
mereka, yaitu : pilla warna merah; patola warna coklat kehijau-hijauan;
dan cakkuridi warna kuning. Dengan tambahan tiga orang pejabat
tersebut, maka mereka lalu menjadi enam semuanya. Merekapun sama berkata
satu dengan lainnya. “Kita berenam sudah sama dewasa dan besar, dan
apabila terjadi perselisihan di antara kita, siapa lagi yang akan
menasihati kita?” Mereka lalu bersepakat untuk menunjuk seorang yang
digelar Arung Matowa (Raja yang dituakan, suatu jabatan Ketua
Pemerintahan Wajo), sehingga mereka sudah merupakan Tujuh Besar Raja. Adapun tempat dimana terdapat rumah besar tadi, di bawah pohon Wajo’e, itulah yang disebut Tana Wajo, atau Tosora. (8 Rabiul Awwal 2008). DAFTAR PUSTAKA Hamid Abu. 2004. Pengembaraan Orang Bugis (PASOMPE), Pustaka Refleksi, Makassar. Mappasanda. A. 2007. Kerajaan Luwu, to ACCAe Publishing, Makassar Maulana,M. 2003. Lamaddakelleng, Lamacca Press, Makassar. Rahim.A.R.1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, LEPHAS, Makassar.
(Teluk Bone)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan dari Para Pembaca Budiman Adalah Motivasi Saya