1/12/2012

Refleksi 40 Tahun Ponre Waru

Latar belakang Pada jaman dahulu, kerajaan Bone terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan masing-masing dipimpin oleh seorang Matowa atau dikenal dengan istilah Arung. Kerajaan Bone terbentuk dimulai dengan munculnya Manurungge Ri Matajang yang kemudian oleh rakyat bersama para pemimpinnya (Matowa atau Arung) medaulatnya menjadi Raja pertama bergelar Mangkau pada awal abad XIV atau pada tahun 1330 Masehi. Pada Jaman Pemerintahan Raja Bone III LA SALIYU KARAMPELUWA (1424–1496), terjadi penaklukan negeri-negeri sekitarnya seperti ; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone. Beberapa negeri berikutnya menyusul menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti ; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe. Terakhir, Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang bergabung dengan Bone. Dapat dikatakan, pada jaman pemerintahannya Mangkau Bone ke-3 ini, seluruh wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone. “ Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang paling akhir menyatakan bergabung dengan kerajaan bone. Penggabungan itu sendiri dilakukan secara sukarela dan bukan melalui penaklukan sebagaimana halnya kerajaan kecil lain. Hingga sekarang Ponre masih merupakan salah satu kecamatan yang berada diwilayah Kabupaten Bone. Berbicara tentang latar belakang, tak dapat dipisahkan dengan rentetan sejumlah peristiwa dari masa-kemasa terutama menyangkut masalah ideologi, kekuasaan, ekonomi dan peristiwa-peristiwa lain yang saling berhubungan satu sama lain. Pasca perang dunia II (1945) terjadi pertarungan ideologi hebat antara negara-negara pengusung kapitalisme sekuler melawan negara-negara komunis atheis. Eropa barat umumnya dan Amerika Serikat pada blok kapitalis, sementara Uni Soviet dan beberapa negara eropa timur termasuk China berada di blok komunis. Pertarungan ideologi atau lebih dikenal dengan istilah perang dingin ini seterusnya saling berebut pengaruh khususnya pada negara-negara yang baru merdeka, termasuk indonesia. Disisi lain, ideologi islam dalam arti nation state (khilafah) yang sebelumnya menguasai hampir dua pertiga dunia, baru saja berakhir ditandai dengan runtuhnya kekhilafahan Turki pada tahun 1924. Tragedi turki ini menjadi duka yang sangat dalam bagi kaum muslimin diseluruh dunia, karena sejak runtuhnya kekhilafahan Turki itu, Islam sebagai ideologi tidak pernah lagi diberi ruang untuk menerapkan sistimnya dalam bentuk negara. Di Indonesia sendiri, sehari setelah proklamasi kemerdekaan yakni pada tanggal 18 agustus 1945, terjadi perdebatan sengit soal ideologi negara dan berbuntut pada pencoretan tujuh kata dalam apa yang disebut PIAGAM JAKARTA. Kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian menjadi sila pertama dalam dasar negara Indonesia, Pancasila. Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama. Tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Dan hendaknya disadari oleh kita semua, bahwa Negeri ini pernah berdasar pada syari’at Islam, meski hanya sehari. bahwa Republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 45 itu itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. . Atas nama persatuan, wakil-wakil islam pada waktu itu terpaksa menerima pencoretan tujuh kata tersebut sebagai toleransi total terhadap kaum nasrani yang mengancam akan keluar dari Negara Kesatuan Indonesia bila mana kalimat itu tidak diganti. Disinilah letak kekalahan telak para politisi Islam. Disinilah pangkal dari duka panjang umat Islam Indonesia, dan disini pulalah pelajaran pertama yang penting dipetik oleh generasi muda Ponrewaru hari ini; Bahwa persatuan bukanlah “tuhan” yang selalu mutlak diurutan pertama. Persatuan memang alasan yang sangat penting dalam mendasari sebuah kebijakan publik, tetapi persatuan bukan berarti berhak menempatkan “kebenaran” berada dibawahnya. Pada episode berikutnya, Negara Islam Indonesia diproklamasikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada Tanggal 12 Syawal 1368 Hijriah atau bertepatan dengan tangal 7 Agustus 1949 Masehi di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia sebagai Negara Islam. Selanjutnya pada tanggal 7 Agustus 1953, Abdul Qahhar Muzakkar bersama seluruh pasukannya, berikut wilayah-wilayah sulawesi selatan yang dikuasainya meleburkan diri kedalam Negara Islam Indonesia Pimpinan Imam S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. (Gonggong, 1992: 1). MAKNA PONRE WARU Ponre Waru berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata Ponre dan Waru. Ponre diambil dari akar kata Pore yang berarti Hebat, Tangguh atau Kuat sedang Waru diambil dari kata Makkawaru yang berarti kebersamaan. (Skripsi Nadira, 1993). Hemat penulis, bahwa ada sebuah makna filosofis sekaligus visioner yang terkandung dalam dua kata tersebut. Singkat namun padat sekali maknanya. Sederhana tapi jelas sekali mengaskan bahwa; KEJAYAAN LAHIR DARI KEBERSAMAAN. Adapun pesan visioner yang terkandung dalam nama tersebut, kaitannya dengan Ponre Waru sebagai sebuah komunitas atau masyarakat, maka dapat diartikan bahwa: Ponre Waru adalah sebuah Keluarga Besar yang harus selalu terikat dalam satu fikiran, satu perasaan dan satu aturan hidup yang sama, yakni ‘tradisi” Islam. Para pendiri Ponrewaru meyakini bahwa Islam adalah ideologi yang mampu menjamin keselamatan manusia baik di kehidupan dunia maupun pada kehidupan setelah kematian. Artinya, generasi Ponrewaru diharapkan agar senantiasa terikat dengan nilai-nilai Islam. Tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum positive Negara Republik Indonesia. Fakta membuktikan bahwa di era tahun 1950-an, ketika pengaruh dan kekuasaan DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Muzakkar sangat kuat di Sulawesi Selatan, di sebuah bukit bernama Padanu tak jauh dari ibu kota Distrik Ponre- Onderafdeling Bone, masyarakat Ponrewaru pernah hidup secara tenteram dibawah sistim syariat Islam. Bahkan ketika perseteruan pucuk pimpinan DI/TII antara Abdul Qahhar Muzakkar dengan Bahar Mattalioe memuncak yang berakhir dengan kembalinya Bahar ke pangkuan republik kala itu, “orang ponre”, – walau hanya hitungan hari – dibawah pimpinan P. Paseng pernah secara de pacto (terlepas dari Republik dan Darul Islam) memiliki sebuah wilayah dan sistim pemerintahan tersendiri dengan pusat pemerintahan berada di Dekko, Bone. (Iswan Paseng, 2011) TOKOH DIBALIK PONREWARU Sejarah Ponre Waru tidak bisa lepas dari sosok seorang Pachruddin Paseng atau lebih dikenal dengan P. Paseng. Tokoh ini memiliki nama asli Pamiring Daeng Mappaseng, kemudian berganti sebagai Pachruddin pada saat masuk sekolah kepolisian. Pachruddin Paseng yang lahir pada tahun 1917 adalah putra seorang kepala kampung dalam kerajaan bone bernama Puang Coa atau lebih dikenal dengan Kepala Tanete. Setamat sekolah Rakyat (SR), P. Paseng melanjutkan pendidikannya di sekolah kepolisian Makassar dan selanjutnya berangkat ke Sukabumi dan menamatkan pendidikan kepolisiannya dengan pangkat Agen 2e (Polisi Belanda). Pada Tahun 1942 belanda dikalahkan oleh Jepang lalu menggantikannya menjajah Indonesia. Jepang terkenal lebih rakus, lebih serakah dan gemar sekali melakukan penyiksaan kepada rakyat sampai dipelosok pedalaman. Suatu hari diawal pendudukan Jepang, P. Paseng sebagai polisi kala itu terlibat bentrok dengan serdadu jepang di Makassar dan sejak itu P. Paseng meninggalkan kepolisian dan kembali ke kampung halamannya, Ponre. Di kampong halamannya, Ia kemudian aktif melakukan pembaharuan dibidang aqidah masyarakat yang saat itu cenderung banyak melakukan praktek-praktek kemusyrikan. Dengan aktifitas seperti itu, tak jarang ia berkonfrotasi dengan tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh adat setempat. Disini telah nampak bahwa di perantauannya P. Paseng telah mengalami pencerahan pemikiran. Pada masa itu pengaruh organisasi-organisasi pergerakan memang sangat kuat. Sejarah mencatat, pada tahun 1911 berdiri Sarekat Islam oleh HOS Cokroaminoto dan Muhammadiyah pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Oleh para cendekiawan Islam ini, metode perjuangan tidak lagi sekedar mengangkat senjata tetapi lebih pada perjuangan melalui jalur politik dan pendidikan. Kondisi ini nampaknya banyak menginspirasi pemikiran P. Paseng. Kelak, ia kemudian memang menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah Bone. Jepang akhirnya bertekuk lutut pada tentara sekutu ditandai dengan luluh lantahnya Nagasaki dan hirosima oleh serangan bom atom Amerika Serikat. Situasi itu kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh para pemuda pejuang dan mendesak Seokarno untuk segera mengumumkan proklamasi. Pada Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Gaung proklamasi itu menggema keseluruh nusantara dan membakar semangat seluruh rakyat Indonesia. Namun, ‘kebahagiaan’ ini tak berlangsung lama. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Agresor NICA dating dan di boncengi oleh tentara sekutu bermaksud mendirikan kembali pemerintahan sipil di Indonesia. Belanda masih menganggap wilayah Hindia-Belanda (Indonesia) adalah bagian dari pemerintahan belanda. Mereka menganggap bangsa Indonesia belum mampu memimpin dirinya sendiri dan secara yuridis masih wilayah belanda. Oleh itu belanda tetap mengakui kemerdekaan Indonesia. Darah patriot kembali mendidih. Diseluruh nusantara, terjadi perlawanan besar-besaran terhadap kedatangan pasukan sekutu dan NICA. P. Paseng kemudian bersama dengan beberapa kerabatnya mulai membentuk laskar pejuang. Langkah pertama yang dilakukannya adalah menghimpun para pemuda lalu bergerak melucuti senjata para kaki tangan belanda satu demi satu. (Umumnya penguasa-penguasa wilayah masih antek-antek Belanda dan dipersenjatai). Penyergapan pertama kali dilakukan terhadap arung Libureng dan berhasil merampas satu unit motor. Rencana lalu disusun lebih rapih di markas Bulu Tellu untuk pengumpulan senjata api. Perburuan selanjutnya ditujukan kepada Suliwatang Palattae dan berhasil merebut 1 buah pistol. Selanjutya para pemuda ponre terus bergerak menuju Leppangeng dan disana berhasil merebut 13 pucuk senjata api milik polisi NICA. Ketika kekuatan dianggap telah cukup, P. Paseng kemudian bersama sekitar 200 pemuda Ponre berangkat dengan berjalan kaki dari watamponre menuju Lonrong dan langsung mengepung suliwatang Ponre hingga menyerah. Dari Lonrong perjalanan dilanjutkan ke Bone untuk bergabung dengan para pejuang yang selama ini bergerak dalam kota seperti Muh. Cabbille, dan H. Daeng Pagessa dan Andi Samballoge pimpinan pasukan serigala hitam. Dalam perjalanan ke Bone bergabung pula para pejuang lain seperti Ali Mare dari Mare dan Manyyalla dari Lamuru. Pagi itu, suasana watampone penuh dengan ketegangan. Para pemuda terus memekikkan merdeka, merdeka, merdeka atau mati, sekali merdeka tetap merdeka, disaksikan oleh pasukan belanda (KNIL) yang terus berjaga-jaga namun tidak berani berbuat apa-apa. Suasana semakin memanas ketika sekitar jam 10 pagi terjadi pertempuran sengit antara pemuda pejuang dengan pasukan KNIL di Palakka. Dalam situasi seperti itu, laskar Ponre lalu berpencar kebeberapa wilayah. Tersebutlah nama-nama seperti Dg. Mattennang, Mappiabang, Dg. Paranreng, Dg. Pasolong, Dg. Palewa, Dg. Patombong serta Rabbile berangkat bergabung dengan para pejuang lain di Taccipi. Adapun Dg. Rakka, Dg. Mananring, Isule serta Baco Sangka kembali ke Lonrong untuk menghadang pasukan musuh. P. Paseng sendiri sementara waktu tetap di Bone bersama pasukan bersenjata kota. Pada peristiwa itu, ponggawa belanda (Orang Ponre memanggilnyaTuan Petoro) berhasil melarikan diri ke Cinennong namun dihadang oleh pasukan Wa’ Pera sehingga Tuan Petoro lari kembali ke lonrong tapi telah berada disana P. Paseng bersama adiknya Dg. Matterru dan berhasil menangkap pengawalnya. Tuan Petoro terus berlari ketakutan menuju bone, namun dalam perjalanan ia lagi-lagi dihadang oleh pasukan Andi Suradi dan disitulah pembesar belanda itu ditembak mati. (Mappiasse Dg. Paranreng, 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan dari Para Pembaca Budiman Adalah Motivasi Saya