1/12/2012

SEKILAS TENTANG SIRI '(MALU) DARI SUDUT PANDANG SUKU BUGIS

25. Laoko warang-parang onroko siri’ (Dari catatan Hj. Andi Ninong) Terjemahan: Pergilah harta tinggalah siri’( harga diri atau martabat). Penjelasan: Apa bila diperhadapkan pada pilihan antara harta dan harga diri pada umumnya orang akan memilih harga diri, sebab leluhur kita menyampaikan” kehilangan harta kehilangan sedikit kehilangan kepercayaan kehilangan banyak tetapi kehilangan harga diri atau kehilangan martabat kehilangan sama sekali”.
Untuk lebih menjelaskan apa itu siri’ menurut Bugis-Makassar penulis mencantumkan nama tiga orang pakar yaitu Prof. Dr. Mattulada (Latoa,1995), Prof.DR.L. Andaya (Arung Palakka, latoa ) dan Crishtian Pelras (Manusia Bugis, 2006). Menurut Mattulada dalam bukunya Latoa yang menyalin pendapat “CH Salam Basyal dan Sappena Mustamin dalam buku mereka (1996 hal 51) yang memberikan batasan atas kata siri’ dengan memberikan pengertian yaitu: 1. Siri’ itu sama artinya dengan malu, (jawa) shame (inggris) 2. Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap atau siapa yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan. 3. Siri’ sebagai daya pandang yang bisa juga ditujukan kearah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian demi suatu pekerjaan atau usaha. Dapat ditarik kesan bahwa untuk mendekati kesan siri’ itu tak mungkin orang hanya memandang hanya satu aspek saja atau memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimengerti, karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak hanya akibat kongkritnya yang dinikmati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mengobservasi orang-orang Bugis-Makassar yang lekas mempergunakan kekerasan dan membalas dendam dengan pembunuhan. Hal itu banyak terjadi terutama dalam soal perjodohan, yang salah satu pranata sosial atau salah satu aspek dalam pengaderan yang masih dapat bertahan dibadingkan unsur-unsur lainnya, walaupun sekarang dari hari ke hari mengalami perubahan. Namun demikian, siri’ masih merupakan arti yang assential untuk difahami, karena terdapatnya anggapan bahwa bagi orang Bugis-Makassar dia masih tetap merupakan sesuatu yang lekat pada martabat kehadirannya sebagai manusia pribadi dan sebagai warga dari suatu persekutuan. Orang Bugis-Makassar menghayati siri’ itu sebagai panggilan yang dalam di dalam diri pribadinya untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya, mempunyai arti yang essential baik bagi diri maupun bagi persekutuannya. Menurut L. Andaya yang disalin Prof. Dr. Andi Zainal Abidin dalam Bukunya Kapita Selekta Kebudayaan Sulawesi Selatan menyoroti siri’ sebagai berikut:” Istilah siri’ berisi makna yang nampaknya saling bertentangan self estim atau self resfect (penghargaan diri atau rasa hormat kepada orang lain). Suatu situasi siri’ (maksudnya situasi penodaan siri’ terjadi bila seorang individu terjadi bila merasa kedudukan atau prestage dan sosial di dalam masyarakat telah dinodai di depan umum). Ia juga dapat terjadi bila seseorang yang telah dituduh melakukan sesuatu yang tercela secara keliru dan tidak adil sedangkan ia tidak penah melaksanakannya. Dalam masyarakat ini, rasa keadilan tumbuh serta merta dan sangat hebat. Walaupun seorang Bugis-Makassar tanpa perlawanan perlakuan kejam jika memang ia merasa dan yakin bahwa ia bersalah. Akan tetapi sebaliknya, akan memberikan reaksi keras dan sangat hebat terhadap perlakuan demikian, dan karena itu direndahkan secara pribadi dan sosial. Sekali seorang telah dinodai siri’nya maka itulah masyarakat dituntut untuk mengambil langkah untuk memulihkan siri’nya (harga diri dan martabatnya sesuai pandangannya dan penilaian masyarakat. Seseorang Masyarakat menghendaki seorang yang telah dinodai harkat dan martabatnya untuk menindak si pelanggar (orang yang menodai) oleh karena menurut masyarakat bahwa lebih baik mati di dalam mempertahankan harkat dan martabatnya (maté ri siri’na) dari pada hidup tanpa siri’(maté siri’). Seseorang yang dibunuh siri’nya atau maté siri’ tidak bebrbuat apa-apa untuk memulihkannya dipandang hina sekali dan menunjukkan dan dianggap tidak berguna sama sekali terhadap masyarakat. Dua aspek siri’ harus selalu dikeseimbangkannya, maka seorang dipandang tidak sebagai individu tidak sebagai yang utuh dan sempurna. Kalau Christian Pelras hanya menyalin pendapat Hamid Abdullah (Manusia Bugis-Makassar) sebagai berikut: “Dalam kehidupan Bugis-Makassar, siri’ merupakan principal dalam diri mereka. Tidak satu nilai pun yang berharga dan dibela dan dipertahankan dimuka bumi selain dari pada siri’. Bagi manusia Bugis-Makassar, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu, untuk meneggakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja termasuk nyawanya yang paling berharga demi tegaknya siri’dalam kehidupan mereka”. Pendapat pakar mengenai siri’ ini penulis mencantumkan untuk memperjelas pengertian tentang makna siri’ yang banyak dijumpai dalam petuah-petuah selanjutnya. ANDI HASAN MACHMUD (SILASA II)

1 komentar:

Masukan dari Para Pembaca Budiman Adalah Motivasi Saya